Ruang Refleksi dalam Pandemi

Oleh : Dr. Desvian Bandarsyah, M.Pd

 

Tiga bulan terakhir kita menjalani kehidupan berbeda. Adalah Covid-19 yang membuat perbedaan itu. Ia dengan cepat mendikte kehidupan manusia modern yang berhasil menciptakan teknologi canggih untuk memudahkan urusannya. Covid membuat kita menjadi tidak berdaya dan terkungkung di dalam rumah bak pesakitan tahanan rumah.

Pilihan beraktivitas menjadi terbatas. Diduga angka stress meningkat dan disertai angka tindak kekerasan dalam rumah tangga. Situasi ini telah mengganggu banyak kehidupan secara psikologis.

Beruntung kita, masih ada teknologi digitalisasi dan internet of things yang menjembatani komunikasi umat manusia dalam dunia virtual. Tanpa itu, maka kehidupan bisa benar-benar berhenti. Seandainya pandemi ini berlangsung tahun 2000 lalu, maka aktivitas dunia berhenti lebih dari setengahnya. Kerugian yang ditanggung umat manusia akan semakin dalam dan lebar. Karena, teknologi yang bisa menghubungkan manusia dengan manusia lainnya masih sangat terbatas ketika itu.

Teknologi membantu manusia menjalankan aktivitas kehidupan pada masa pandemi dengan cukup meyakinkan. Kehidupan intelektual, ritual ibadah dan pengajian, urusan sosial kekeluargaan dan persahabatan, kerja-kerja profesional dan pengabdian, gerakan filantropi dan banyak lagi lainnya, masih bisa dijalankan dengan baik oleh umat manusia.

Kita memang sudah harus berubah untuk melakukan adaptasi dengan spirit dan nilai baru dalam kehidupan. Beberapa nilai lama mungkin sudah waktunya ditinggalkan. Cara pandang lama juga mungkin perlu diubah. Perubahan menagih komitmen kepada mereka yang ingin adaptif dalam kehidupan baru, new normal. Sebuah wacana sekaligus realitas yang hadir dalam kehidupan kita. Tanpa keinginan dan kemampuan untuk berubah, kehidupan akan menghukum kita lebih dalam lagi.

Umat manusia juga perlu menyadari bahwa kehidupan bersama perlu dijaga dengan mengkonsolidasikan harmoni di antara relasi manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Cara pandang ini perlu diletakkan dalam konteks kehidupan yang bertumpu pada nilai dan moralitas sosial-transendental yang mampu meredam syahwat kebinatangan. Perilaku tamak dan serakah dalam memberlakukan orang lain, pemuasan syahwat dalam memenuhi unsur badani dalam kehidupan, perlu dikendalikan sampai pada tingkatan harmoni agar keseimbangan baru bagi dunia dalam era new normal lebih bisa mengayomi para penghuninya.

Saya kira, pengalaman spiritual yang sarat dengan sikap reflektif selama pandemi dapat menjadi modal sosial-spiritual umat manusia untuk memperbaiki kehidupan bersama, untuk menatap dengan optimis masa depan peradaban manusia. Karena sesungguhnya, waktu tiga bulan terakhir ini sangat mewah, mahal dan teramat berharga jika dilewatkan begitu saja, tanpa upaya reflektif untuk menelaah kembali, memaknai kembali, dan mengkonstruksikan kembali wacana kehidupan kita dalam pergumulan panjang dengan realitas dan roda nasib kehidupan.

Di tengah keterbatasan dan keprihatinan kehidupan, manusia patut mensyukuri ruang dan waktu yang “tercipta” dalam kehidupannya sebagai buah dari berpikir reflektif itu. Karena, itu akan menjadikan manusia “terlahir kembali” sebagai insan tangguh dan tahan goda akan nilai-nilai profan dalam kehidupan, sekaligus cenderung “hanyut” dalam nilai-sakral kehidupan. Dengan sendirinya kekeringan jiwa, yang menjadi keluhan manusia modern akibat kesunyian sosial yang mereka derita, sekurangnya memiliki obat penawarnya. Ini menjadi semacam oase bagi kehidupan bersama. Memberi kedamaian dan kemaslahatan bagi jiwa yang personal dan jiwa-jiwa lainnya yang komunal. Sesungguhnya komunalitas itu yang mencermin anjuran Rasulullah, agar memberikan kebaikan bagi kehidupan. Sebaik-baik manusia, ia yang memberi manfaat bagi orang.

Kita tersenyum melihat rangkaian kerugian dan penderitaan yang dialami dunia beserta para penghuninya. Itu telah kita lewati, namun setengahnya masih kita jalani. Senyum kita, yang menggambarkan keikhlasan, ketenangan, serta optimisme merupakan bagian dari tanggung jawab moral kemanusiaan kita. Senyum yang menyiratkan kesadaran dan pengakuan, betapa selama ini manusia telah berlaku aniaya kepada dirinya dan orang lain dalam kehidupan. Merampas titipan kehidupan generasi masa depan dan mengingkari warisan kehidupan generasi masa lalu. Maka, mengembangkan kesadaran dan pengakuan semacam itu seperti membentuk dan membuka jalan atas segala cita-cita kemanusiaan kita yang selama ini diabaikan.

Membuka dan membentuk jalan akan cita-cita kemanusiaan memberi kelapangan jiwa. Sesuatu yang hilang dalam jiwa manusia. Ia bisa memberi energi besar bagi kita untuk dengan terbuka mengakuinya, bahwa kita adalah bagian dari proses kerusakan kehidupan yang karena kelalaian yang panjang, kerusakan itu juga menghinggapi kita. Energi semacam itu yang membentuk kesadaran fungsional berupa etika profetik bagi kehidupan bersama.

Lalu apalagi yang perlu diresahkan dan dikhawatirkan, ketika kesadaran akan etika profetik kehidupan merasuk lembut ke dalam kesadaran diri. Menghadirkan kehidupan dalam jiwa. Bersyukurlah, bahwa kita masih memiliki energi untuk menemukenali kesadaran itu. Bersyukurlah Sang Pemilik kehidupan masih berkenan meniupkan kesadaran semacam itu ke dalam jiwa dan diri kita. Kesadaran yang bisa menyucikan keduanya, sungguh beruntung orang-orang yang menyucikan jiwanya, qad aflaha man zakkaahaa, sungguh beruntung orang orang yang menyucikan dirinya, qad aflaha man tazakkaa.

Tinggalkan Balasan